Malam yang semakin larut mengantarkanku
pada roman yang kian mencekik leher.
Ditambah lagi dengan jalan yang begitu sepi. Hawa dingin terus menusuk tubuhku hingga tak
sadar sesuatu di tubuhku telah berdetak tak terkendali. Aku terus saja melaju dengan kecepatan tinggi
sambil sesekali melirik kearah jarum jam tanganku yang tetap berdetak dan kini
telah menunjukkan pukul 00.10 dini hari.
Aku mulai panic, sesekali kudengar motorku tersendat karena kehabisan
bahan bakarnya. Mataku terus
mencari-cari kios yang mungkin saja masih setia melayani pelanggannya yang
sedang sangat membutuhkan bahan bakar berwujud bensin. Tetapi mataku malah
tertuju pada sebuah kompleks perkuburan bertuliskan Melati Jaya di pintu
gerbang masuknya. Namaku Adru, hari ini
aku terpaksa mengantarkan tugas kimiaku yang berbentuk makalah, seharusnya
tugas itu telah aku kumpulkan tadi pagi ketika jam sekolah masih
berlangsung,tetapi aku sengaja tidak membawanya karena tugas tersebut belum
terselesaikan. Sebagai gantinya, aku
terpaksa mengantarkan tugas tersebut ke rumah guruku yang terkenal killer dan
tak segan-segan memberi nilai D pada raport siswanya yang bermasalah. Rumahnya yang bisa terbilang jauh dan
terpencil setidaknya mampu membuatku jera untuk datang ke rumahnya lagi.
Aku masih berkutat pada beberapa kompleks
perumahan yang aku lewati untuk mencari alamat rumah Bu Dini. Mataku mulai memerah pertanda mulai lelah,
tetapi aku tak akan mengakhiri perjuanganku sampai di sini saja. Setelah sekitar 15 menit akhirnya aku
menemukan alamat rumah yang aku cari.
Perlahan kumatikan mesin motor Supra bututku, sempat terbesit di
pikiranku untuk memberikan tugas itu esok pagi saja ketika matahari mulai
terbit, namun kuurungkan niat tersebut.
Perlahan tanganku meraba daun pintu yang
berwarna coklat dan sedikit usang termakan usia. Kugenggam jemari tanganku dan mulai menghentakkannya
ke daun pintu tersebut. Beberapa kali
aku menggerakkan genggaman tanganku hingga akhirnya kudengar suara seperti
lampu yang sedang dihidupkan, jantungku mulai menenangkan dirinya. Rasa tidak enak hati juga meresap ke seluruh
tubuhku. Tiba-tiba seorang wanita
setengah baya keluar dari rumah tersebut dan tersenyum kecut kearahku.
“Lho…kamu Adru tho?” wanita itu mencoba
memastikan pandangannya .
“I..I..Iya Bu” jawabku sambil menundukkan
kepala.
Bu Dini kemudian mengajakku untuk masuk ke
rumahnya. Aku masih menunduk antara malu
dan rasa tidak enak hati bercampur menjadi satu dan merasuki seluruh bagian
tubuhku. Bu Dini kemudian keluar dari
dapurnya dan membawa secangkir teh hangat.
Tanpa basa-basi aku langsung mengambil teh tersebut, setidaknya cukup
untuk mengusir rasa dingin dan ketakutanku.
“Ada
apa tho Ndok subuh-subuh gini datang ke rumah Ibu?” wanita itu mencoba
melelehkan suasana yang kian membeku.
“Ehm…anu Bu, saya cuma mau mengantarkan
tugas makalah yang Ibu berikan satu minggu yang lalu.” aku menimpali pertanyaan
tersebut dengan rasa malu dan bersalah.
Bu Dini tersenyum dan langsung mengambil
makalah tersebut dari tanganku yang terlihat pucat karena menggigil. Wanita itu kemudian membuka-buka isi
makalahku, kemudian sedikit memberikan paraf kecilnya pada lembaran terakhir
tugas tersebut.
“Setelah ini kamu mau kemana Ndok?”
tanyanya masih dengan logat jawa medok yang tak kandas meski telah tinggal
bertahun-tahun di kota
khatulistiwa ini.
“Saya langsung pulang saja Bu, sebentar
lagi juga sudah pagi.” jawabku singkat dengan senyum tipis yang dipaksakan.
“Sudahlah, kamu nginap disini saja sambil
menunggu pagi. Nanti kalau sudah sholat
subuh baru kamu pulang!” Bu Dini menawarkan jasa penginapannya.
Sebenarnya aku ingin sekali menginap di
rumah itu, setidaknya untuk merebahkan sedikit tubuh kurusku. Tetapi hatiku berkata lain, rasa tidak nyaman
selalu hinggap tanpa izin di hatiku. Aku
tidak ingin dianggap ada sesuatu diantara kami, karma Bu Dini ini adalah
seorang janda yang hanya tinggal sendirian di rumahnya tanpa anak maupun sanak
saudara. Apa kata tetangga kalau mereka
tiba-tiba melihatku keluar dari rumah itu, subuh-subuh pula.
“Hei…gimana?” tiba-tiba suara halus Bu Dini
membuyarkan lamunanku.
“Ah..terimakasih Bu tapi sepertinya lain
kali saja!” aku menolak tawaran Bu Dini dengan sehalus mungkin.
“Benar kamu tidak ingin nginap di sini
dulu?” Bu Dini mencoba meyakinkanku.
“Di luar itu banyak orang jahat lho
Dru. Ibu nggak mau nanti kamu
kenapa-kenapa. Apalagi sekarang inikan
sudah subuh, apa nanti yang akan Ibu katakan pada orang tuamu jika terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan.” wanita itu menimpali lagi.
Aku tertunduk, masih bingung.
“Oh..tidak apa Bu saya pulang saja, ini
juga kan sudah mulai terang pasti sudah banyak
orang yang keluar rumah.” aku mencoba meyakinkan Bu Dini yang sebenarnya tau
betul bahwa diluar sana
masih gelap gulita.
“Ya sudahlah kalau memang itu sudah menjadi
keputusan kamu. Tapi hati-hati ya Ndok,
banyak orang jahat diluar sana !”
wanita itu tersenyum kearahku.
“Iya Bu, maaf sudah merepotkan Ibu
subuh-subuh begini.” aku membalas senyuman Bi Dini sambil merengkuh ransel
biruku dan beranjak keluar rumah itu.
Aku langsung menghidupkan mesin motorku
yang benar-benar sudah kehabisan bensin.
Aku menundukkan sedikit kepalaku dan tersenyum kearah Bu Dini sebagai
pertanda hormat dan terimakasihku.
Motorku terus melaju hingga akhirnya terhenti di sebuah jalan yang sepi
tanpa ada seorangpun yang melewati jalan tersebut, aku mulai merasakan
ketakutan yang sangat menyiksa batin.
Ingin sekali aku menjerit, tapi tak kan ada yang mendengar. Aku terpaksa mendorong motorku karena motor ini
kini benar-benar telah kehilangan fungsinya.
Sekitar 500 meter aku mendorong motor supra
ini, akhirnya aku menemukan sebuah warung kecil di sudut jalan. Tidak begitu ramai, hanya ada seorang wanita
penjaga warung dan dua orang lelaki yang sedang sibuk berkutat dengan setumpuk
kartu remi dan beberapa lembar uang kertas di hadapannya. Rasa takut kembali menyelimuti tubuhku,
bingung bercampur dingin semakin memperparah keadaan.
Setelah kurang lebih berfikir selama 15
menit akhirnya aku memutuskan untuk singgah di warung tersebut. Rasa lelah telah mengalahkan
ketakutanku. Mereka saling berpandangan
ketika dilihatnya aku datang dengan wajah tak berdosa. Wanita penjaga warung itu tersenyunm kearaku
sambil memberikan secangkir kopi pahit.
“Dari mana Dek?” tanya wanita itu dengan
ramah.
“Dari rumah guru saya Mbak.” aku menjawab
sesingkat mungkin karna tak ingin terlalu jauh mengenal wanita ini.
Mereka kembali berpandangan.
“Motornya kenapa didorong?” wanita itu
kembali bertanya.
“Bensinnya habis!” aku menjawab seenaknya.
“Hati-hati Dek, di sini rawan.” wanita itu
seperti mencoba menakutiku.
“Di sini ada jual bensin, kamu mau?” wanita
itu menimpali lagi.
Aku memandang wajah wanita itu, sepertinya
dia wanita yang baik. Tapi warung
seperti apa ini yang buka pada jam pocong seperti ini. Aku mencoba membuka ingatanku, bukankah tadi
saat aku menuju kemari tak ada satu warungpun yang buka?. Aku mencoba menepis rasa ketakutanku.
Wanita itu kemudian menghampiriku dengan
memberikan sebuah jirigen kecil berisi bensin.
Aku langsung mengambilnya tanpa pikir panjang. Kumasukkan cairan itu ke dalam tangki motor
ku, sepertinya tidak sampai satu liter tapi setidaknya cukup untuk membawaku
kembali ke rumah. Aku langsung
menyodorkan uang duapuluhribuan kearah wanita itu, dan langsung melaju pulang.
Rasa dingin terus merasuk ke seluruh bagian
tubuhku. Dingin yang teramat sangat juga
telah mencuri sebagian konsentrasiku.
Aku terus melaju hingga akhirnya seorang wanita menghentikan kelajuan
motorku. Rasa takut dan kasihan
menguasaiku, wanita itu menangis sejadi-jadinya kearahku, aku tidak tau harus
berbuat apa.
Beberapa kali wanita itu memohon kepadaku
untuk diantarkan pulang, akhirnya aku tidak tega juga. Wanita itu membawaku pada kompleks perumahannya
yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari tempat pemberhentiannya tadi. Wanita itu mengajakku untuk beristirahat di
rumahnya, entah mengapa tanpa pikir panjang aku langsung menerima ajakan wanita
itu apalagi rasa kantuk yang benar-benar tidak terkendalikan. Tidak selang beberapa lama akhirnya aku
tertidur di sofa coklat pada ruang tamu wanita itu.
Perlahan kubuka mataku yang terasa berat,
kudengar suara riuh beberapa orang dan mereka memandang kearahku.
“Adru…akhirnya kamu bangun juga.” seorang
wanita yang tak asing kulihat menangis dihadapanku.
Aku masih bingung dengan semua keadaan ini,
ruangan putih dan berbau karbol menyengat hidungku.
“Adru dimana Ma?” aku merncoba bertanya
pada wanita itu
“Kamu di rumah sakit sayang. Sudah 5 hari ini kamu tidak sadarkan diri
setelah ditemukan oleh warga sedang pingsan di kompleks pekuburan Melati Jaya.
Aku tertegun bingung tak karuan.
“Iya Ndok, Mama kamu bilang kamu mau
ngantarin tugas makalah yang Ibu berikan,tapi kamu kemana tho ndok nggak ada ke
rumah Ibu.” Tiba-tiba kulihat sosok Bu Dina di hadapanku.
Aku terdiam.
Belakangan akhirnya aku tau bahwa kompleks
perumahan itu memang rawan dan sering terjadi hal-hal gaib di sana .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar