Selasa, 20 September 2011

SATU MALAM DI MELATI JAYA


Malam yang semakin larut mengantarkanku pada roman yang kian mencekik leher.  Ditambah lagi dengan jalan yang begitu sepi.  Hawa dingin terus menusuk tubuhku hingga tak sadar sesuatu di tubuhku telah berdetak tak terkendali.  Aku terus saja melaju dengan kecepatan tinggi sambil sesekali melirik kearah jarum jam tanganku yang tetap berdetak dan kini telah menunjukkan pukul 00.10 dini hari.  Aku mulai panic, sesekali kudengar motorku tersendat karena kehabisan bahan bakarnya.  Mataku terus mencari-cari kios yang mungkin saja masih setia melayani pelanggannya yang sedang sangat membutuhkan bahan bakar berwujud bensin. Tetapi mataku malah tertuju pada sebuah kompleks perkuburan bertuliskan Melati Jaya di pintu gerbang masuknya.  Namaku Adru, hari ini aku terpaksa mengantarkan tugas kimiaku yang berbentuk makalah, seharusnya tugas itu telah aku kumpulkan tadi pagi ketika jam sekolah masih berlangsung,tetapi aku sengaja tidak membawanya karena tugas tersebut belum terselesaikan.  Sebagai gantinya, aku terpaksa mengantarkan tugas tersebut ke rumah guruku yang terkenal killer dan tak segan-segan memberi nilai D pada raport siswanya yang bermasalah.  Rumahnya yang bisa terbilang jauh dan terpencil setidaknya mampu membuatku jera untuk datang ke rumahnya lagi.
Aku masih berkutat pada beberapa kompleks perumahan yang aku lewati untuk mencari alamat rumah Bu Dini.  Mataku mulai memerah pertanda mulai lelah, tetapi aku tak akan mengakhiri perjuanganku sampai di sini saja.  Setelah sekitar 15 menit akhirnya aku menemukan alamat rumah yang aku cari.  Perlahan kumatikan mesin motor Supra bututku, sempat terbesit di pikiranku untuk memberikan tugas itu esok pagi saja ketika matahari mulai terbit, namun kuurungkan niat tersebut. 
Perlahan tanganku meraba daun pintu yang berwarna coklat dan sedikit usang termakan usia.  Kugenggam jemari tanganku dan mulai menghentakkannya ke daun pintu tersebut.  Beberapa kali aku menggerakkan genggaman tanganku hingga akhirnya kudengar suara seperti lampu yang sedang dihidupkan, jantungku mulai menenangkan dirinya.  Rasa tidak enak hati juga meresap ke seluruh tubuhku.  Tiba-tiba seorang wanita setengah baya keluar dari rumah tersebut dan tersenyum kecut kearahku.
“Lho…kamu Adru tho?” wanita itu mencoba memastikan pandangannya .
“I..I..Iya Bu” jawabku sambil menundukkan kepala.
Bu Dini kemudian mengajakku untuk masuk ke rumahnya.  Aku masih menunduk antara malu dan rasa tidak enak hati bercampur menjadi satu dan merasuki seluruh bagian tubuhku.  Bu Dini kemudian keluar dari dapurnya dan membawa secangkir teh hangat.  Tanpa basa-basi aku langsung mengambil teh tersebut, setidaknya cukup untuk mengusir rasa dingin dan ketakutanku.
Ada apa tho Ndok subuh-subuh gini datang ke rumah Ibu?” wanita itu mencoba melelehkan suasana yang kian membeku.
“Ehm…anu Bu, saya cuma mau mengantarkan tugas makalah yang Ibu berikan satu minggu yang lalu.” aku menimpali pertanyaan tersebut dengan rasa malu dan bersalah.
Bu Dini tersenyum dan langsung mengambil makalah tersebut dari tanganku yang terlihat pucat karena menggigil.  Wanita itu kemudian membuka-buka isi makalahku, kemudian sedikit memberikan paraf kecilnya pada lembaran terakhir tugas tersebut.
“Setelah ini kamu mau kemana Ndok?” tanyanya masih dengan logat jawa medok yang tak kandas meski telah tinggal bertahun-tahun di kota khatulistiwa ini.
“Saya langsung pulang saja Bu, sebentar lagi juga sudah pagi.” jawabku singkat dengan senyum tipis yang dipaksakan.
“Sudahlah, kamu nginap disini saja sambil menunggu pagi.  Nanti kalau sudah sholat subuh baru kamu pulang!” Bu Dini menawarkan jasa penginapannya.
Sebenarnya aku ingin sekali menginap di rumah itu, setidaknya untuk merebahkan sedikit tubuh kurusku.  Tetapi hatiku berkata lain, rasa tidak nyaman selalu hinggap tanpa izin di hatiku.  Aku tidak ingin dianggap ada sesuatu diantara kami, karma Bu Dini ini adalah seorang janda yang hanya tinggal sendirian di rumahnya tanpa anak maupun sanak saudara.  Apa kata tetangga kalau mereka tiba-tiba melihatku keluar dari rumah itu, subuh-subuh pula.

“Hei…gimana?” tiba-tiba suara halus Bu Dini membuyarkan lamunanku.
“Ah..terimakasih Bu tapi sepertinya lain kali saja!” aku menolak tawaran Bu Dini dengan sehalus mungkin.
“Benar kamu tidak ingin nginap di sini dulu?” Bu Dini mencoba meyakinkanku.
“Di luar itu banyak orang jahat lho Dru.  Ibu nggak mau nanti kamu kenapa-kenapa.  Apalagi sekarang inikan sudah subuh, apa nanti yang akan Ibu katakan pada orang tuamu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.” wanita itu menimpali lagi.
Aku tertunduk, masih bingung.
“Oh..tidak apa Bu saya pulang saja, ini juga kan sudah mulai terang pasti sudah banyak orang yang keluar rumah.” aku mencoba meyakinkan Bu Dini yang sebenarnya tau betul bahwa diluar sana masih gelap gulita.
“Ya sudahlah kalau memang itu sudah menjadi keputusan kamu.  Tapi hati-hati ya Ndok, banyak orang jahat diluar sana!” wanita itu tersenyum kearahku.
“Iya Bu, maaf sudah merepotkan Ibu subuh-subuh begini.” aku membalas senyuman Bi Dini sambil merengkuh ransel biruku dan beranjak keluar rumah itu.
Aku langsung menghidupkan mesin motorku yang benar-benar sudah kehabisan bensin.  Aku menundukkan sedikit kepalaku dan tersenyum kearah Bu Dini sebagai pertanda hormat dan terimakasihku.  Motorku terus melaju hingga akhirnya terhenti di sebuah jalan yang sepi tanpa ada seorangpun yang melewati jalan tersebut, aku mulai merasakan ketakutan yang sangat menyiksa batin.  Ingin sekali aku menjerit, tapi tak kan ada yang mendengar.  Aku terpaksa mendorong motorku karena motor ini kini benar-benar telah kehilangan fungsinya.
Sekitar 500 meter aku mendorong motor supra ini, akhirnya aku menemukan sebuah warung kecil di sudut jalan.  Tidak begitu ramai, hanya ada seorang wanita penjaga warung dan dua orang lelaki yang sedang sibuk berkutat dengan setumpuk kartu remi dan beberapa lembar uang kertas di hadapannya.  Rasa takut kembali menyelimuti tubuhku, bingung bercampur dingin semakin memperparah keadaan.
Setelah kurang lebih berfikir selama 15 menit akhirnya aku memutuskan untuk singgah di warung tersebut.  Rasa lelah telah mengalahkan ketakutanku.  Mereka saling berpandangan ketika dilihatnya aku datang dengan wajah tak berdosa.  Wanita penjaga warung itu tersenyunm kearaku sambil memberikan secangkir kopi pahit.
“Dari mana Dek?” tanya wanita itu dengan ramah.
“Dari rumah guru saya Mbak.” aku menjawab sesingkat mungkin karna tak ingin terlalu jauh mengenal wanita ini.
Mereka kembali berpandangan.
“Motornya kenapa didorong?” wanita itu kembali bertanya.
“Bensinnya habis!” aku menjawab seenaknya.
“Hati-hati Dek, di sini rawan.” wanita itu seperti mencoba menakutiku.
“Di sini ada jual bensin, kamu mau?” wanita itu menimpali lagi.
Aku memandang wajah wanita itu, sepertinya dia wanita yang baik.  Tapi warung seperti apa ini yang buka pada jam pocong seperti ini.  Aku mencoba membuka ingatanku, bukankah tadi saat aku menuju kemari tak ada satu warungpun yang buka?.  Aku mencoba menepis rasa ketakutanku.
Wanita itu kemudian menghampiriku dengan memberikan sebuah jirigen kecil berisi bensin.  Aku langsung mengambilnya tanpa pikir panjang.  Kumasukkan cairan itu ke dalam tangki motor ku, sepertinya tidak sampai satu liter tapi setidaknya cukup untuk membawaku kembali ke rumah.  Aku langsung menyodorkan uang duapuluhribuan kearah wanita itu, dan langsung melaju pulang.
Rasa dingin terus merasuk ke seluruh bagian tubuhku.  Dingin yang teramat sangat juga telah mencuri sebagian konsentrasiku.  Aku terus melaju hingga akhirnya seorang wanita menghentikan kelajuan motorku.  Rasa takut dan kasihan menguasaiku, wanita itu menangis sejadi-jadinya kearahku, aku tidak tau harus berbuat apa.
Beberapa kali wanita itu memohon kepadaku untuk diantarkan pulang, akhirnya aku tidak tega juga.  Wanita itu membawaku pada kompleks perumahannya yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari tempat pemberhentiannya tadi.  Wanita itu mengajakku untuk beristirahat di rumahnya, entah mengapa tanpa pikir panjang aku langsung menerima ajakan wanita itu apalagi rasa kantuk yang benar-benar tidak terkendalikan.  Tidak selang beberapa lama akhirnya aku tertidur di sofa coklat pada ruang tamu wanita itu.
Perlahan kubuka mataku yang terasa berat, kudengar suara riuh beberapa orang dan mereka memandang kearahku.
“Adru…akhirnya kamu bangun juga.” seorang wanita yang tak asing kulihat menangis dihadapanku.
Aku masih bingung dengan semua keadaan ini, ruangan putih dan berbau karbol menyengat hidungku.
“Adru dimana Ma?” aku merncoba bertanya pada wanita itu
“Kamu di rumah sakit sayang.  Sudah 5 hari ini kamu tidak sadarkan diri setelah ditemukan oleh warga sedang pingsan di kompleks pekuburan Melati Jaya.
Aku tertegun bingung tak karuan.
“Iya Ndok, Mama kamu bilang kamu mau ngantarin tugas makalah yang Ibu berikan,tapi kamu kemana tho ndok nggak ada ke rumah Ibu.” Tiba-tiba kulihat sosok Bu Dina di hadapanku.
Aku terdiam.
Belakangan akhirnya aku tau bahwa kompleks perumahan itu memang rawan dan sering terjadi hal-hal gaib di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar