PROSESI
‘MANDI–MANDI’
Pagi
menampakkan dirinya dengan senyuman lebar. Cahayanya merasuki tiap lembaran
hati manusia yang disinari. Kicauan burung sorak sorai menyambut datangnya pagi
yang mengakhiri malam yang gelap dan sepi. Pagi itu merupakan hari yang sangat
kami nanti, setelah kemarin harus menghabiskan waktu untuk berpesta merayakan pernikahan saudaraku. Gelak tawa
masih tersisa dari mulut anak-anak dan orang dewasa yang menginap di rumah
sederhana kami. Orang-orang dewasa sibuk membersihkan peralatan yang telah
digunakan kemarin. Ada
juga yang sibuk mempersiapkan alat dan bahan untuk kegiatan adat istiadat yang
akan dilaksanakan pada hari ini.
Seorang
wanita tua berjalan memasuki rumah kami. Tubuhnya yang tak lagi bugar tersenyum
lebar menandakan kebahagian. Senyum tipis yang mengangkat kulit-kulit wajah tua
itu membuat penampilannya terlihat masih cantik di usianya yang memang tak lagi
muda. Aku menatap wajahnya yang selalu menawarkan golakan senyum tanpa hiasan
gigi-gigi putih. Sejenak aku teringat akan diriku yang masih bisa berbuat
banyak dengan tubuh yang segar dan tubuh sehat tanpa sedikitpun kekurangan.
Aku
kembali memusatkan perhatianku pada beberapa peralatan yang ditaruh tepat pada
teras kecil di depan rumahku. Nenek tua menggapai perlengkapan itu. Beberapa
peralatan magis di sentuhnya dengan perlahan-lahan. Ada semacam mantra yang terucap dari bibir
keriput milik sang nenek. Aku terus menilik kelakuan aneh dari si nenek. Ku
perhatikan perlengkapan yang ada di sana .
Sepertinya ada dua butir telur, kaca, sebatang lilin, tali, kain yang cantik,
beras kuning, bertih, sebotol minyak yang berwarna hitam, dedaunan yang dirangkai
sedemikian rupa dan disimpan pada sebuah cairan kuning yang merupakan campuran
air dan beras kuning, dan ada juga perlengkapan mandi seperti gayung, ember dan
handuk pastinya.
Sesaaat
kemudian sepasang pengantin baru datang mendekati sang nenek, kemudian duduk
pada bangku yang telah disediakan. Gelak tawa dari seluruh keluarga menyertai
kedatangan mereka. Anak-anak kecil saling ejek sambil tertawa dengan riang.
Seluruh keluarga berkumpul di sana .
Tak ada yang rela melewatkan acara adat ini. Mereka biasa menyebut adat ini
sebagai acara “mandi-mandi”. Entah siapa pencetusnya dan siapa yang memeberikan
nama untuk kegiatan yang satu ini.
Aku
melihat sang nenek mengusapkan minyak yang berwarna hitam atau biasa disebut
dengan ‘minyak bau’ ke wajah, tangan dan kaki kakakku sambil dibacakan mantra.
Kemudian sepasang pengantin ini dipukul bagian tangan, bahu, dan kakinya dengan
rangkaian daun yang telah dicelupkan dengan campuran beras kuning dan air.
Setelah ritual ini, sang nenek membawa pengantin ke halaman yang lebih luas.
Sang pengantin kemudian dilingkari dengan benang dan diputar dengan kaca dan
lilin hingga tujuh kali. Selanjutnya kakakku harus menginjak telur yang
diletakkan di hadapannya, telur ini ditaruh pada daun keladi.
Setelah
prosesi penginjakan telur itu, kulihat orang-orang tua yang ada di keluargaku
secara bergantian memandikan sang pengantin dengan air bunga tujuh rupa,
kemudian tubuh mereka dibilas kembali dengan air biasa dan diselimuti dengan
helaian kain yang sangat cantik. Tujuan dari diadakannya ritual ‘mandi-mandi’
ini yaitu untuk keselamatan sang pengantin dan agar sang pengantin dapat
menjalin hubungan pernikahan dengan baik.
Aku
sangat terkejut saat tiba-tiba tubuhku basah kuyup karena disiram oleh kakakku.
Mereka semua tertawa melihat aku berteriak karena terkejut. Karena merasa tidak
terima, akhirnya aku menyiram orang-orang yang ada di sekitarku. Kami semua
merayakan hari itu dengan basah-basahan. Kulihat sang nenek tertawa lepas
melihat tingkah laku kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar