Rabu, 21 September 2011

ADAT ISTIADAT

PROSESI ‘MANDI–MANDI’

Pagi menampakkan dirinya dengan senyuman lebar. Cahayanya merasuki tiap lembaran hati manusia yang disinari. Kicauan burung sorak sorai menyambut datangnya pagi yang mengakhiri malam yang gelap dan sepi. Pagi itu merupakan hari yang sangat kami nanti, setelah kemarin harus menghabiskan waktu untuk berpesta  merayakan pernikahan saudaraku. Gelak tawa masih tersisa dari mulut anak-anak dan orang dewasa yang menginap di rumah sederhana kami. Orang-orang dewasa sibuk membersihkan peralatan yang telah digunakan kemarin. Ada juga yang sibuk mempersiapkan alat dan bahan untuk kegiatan adat istiadat yang akan dilaksanakan pada hari ini.

Seorang wanita tua berjalan memasuki rumah kami. Tubuhnya yang tak lagi bugar tersenyum lebar menandakan kebahagian. Senyum tipis yang mengangkat kulit-kulit wajah tua itu membuat penampilannya terlihat masih cantik di usianya yang memang tak lagi muda. Aku menatap wajahnya yang selalu menawarkan golakan senyum tanpa hiasan gigi-gigi putih. Sejenak aku teringat akan diriku yang masih bisa berbuat banyak dengan tubuh yang segar dan tubuh sehat tanpa sedikitpun kekurangan.

Aku kembali memusatkan perhatianku pada beberapa peralatan yang ditaruh tepat pada teras kecil di depan rumahku. Nenek tua menggapai perlengkapan itu. Beberapa peralatan magis di sentuhnya dengan perlahan-lahan. Ada semacam mantra yang terucap dari bibir keriput milik sang nenek. Aku terus menilik kelakuan aneh dari si nenek. Ku perhatikan perlengkapan yang ada di sana. Sepertinya ada dua butir telur, kaca, sebatang lilin, tali, kain yang cantik, beras kuning, bertih, sebotol minyak yang berwarna hitam, dedaunan yang dirangkai sedemikian rupa dan disimpan pada sebuah cairan kuning yang merupakan campuran air dan beras kuning, dan ada juga perlengkapan mandi seperti gayung, ember dan handuk pastinya.

Sesaaat kemudian sepasang pengantin baru datang mendekati sang nenek, kemudian duduk pada bangku yang telah disediakan. Gelak tawa dari seluruh keluarga menyertai kedatangan mereka. Anak-anak kecil saling ejek sambil tertawa dengan riang. Seluruh keluarga berkumpul di sana. Tak ada yang rela melewatkan acara adat ini. Mereka biasa menyebut adat ini sebagai acara “mandi-mandi”. Entah siapa pencetusnya dan siapa yang memeberikan nama untuk kegiatan yang satu ini.

Aku melihat sang nenek mengusapkan minyak yang berwarna hitam atau biasa disebut dengan ‘minyak bau’ ke wajah, tangan dan kaki kakakku sambil dibacakan mantra. Kemudian sepasang pengantin ini dipukul bagian tangan, bahu, dan kakinya dengan rangkaian daun yang telah dicelupkan dengan campuran beras kuning dan air. Setelah ritual ini, sang nenek membawa pengantin ke halaman yang lebih luas. Sang pengantin kemudian dilingkari dengan benang dan diputar dengan kaca dan lilin hingga tujuh kali. Selanjutnya kakakku harus menginjak telur yang diletakkan di hadapannya, telur ini ditaruh pada daun keladi.

Setelah prosesi penginjakan telur itu, kulihat orang-orang tua yang ada di keluargaku secara bergantian memandikan sang pengantin dengan air bunga tujuh rupa, kemudian tubuh mereka dibilas kembali dengan air biasa dan diselimuti dengan helaian kain yang sangat cantik. Tujuan dari diadakannya ritual ‘mandi-mandi’ ini yaitu untuk keselamatan sang pengantin dan agar sang pengantin dapat menjalin hubungan pernikahan dengan baik.

Aku sangat terkejut saat tiba-tiba tubuhku basah kuyup karena disiram oleh kakakku. Mereka semua tertawa melihat aku berteriak karena terkejut. Karena merasa tidak terima, akhirnya aku menyiram orang-orang yang ada di sekitarku. Kami semua merayakan hari itu dengan basah-basahan. Kulihat sang nenek tertawa lepas melihat tingkah laku kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar