Minggu, 15 Mei 2016

DIA TARTI

28 Oktober 1969

Dia menggenggam erat ujung kebaya putih yang melekat pas membaluti tubuhnya yang tidak terlalu tinggi namun padat berisi. Jamang melekat di ujung kepalanya, menjuntai hingga ujung dagu yang membulat. Sepuluh jari tangannya merah berlapis inai, kontras dengan kulitnya yang putih bersih, terawat tak pernah tersentuh. Tubuhnya harum, semerbak aroma melati. Wajahnya putih, entah karna bedak atau karna pucat menahan rasa takut. Dadanya sesak, bukan karna baju yang kekecilan.

Di luar sana riuh terdengar suara kanak-kanak bercampur dengan alunan musik tanjidor yang memekakan telinga. Aroma harum masakan menusuk hidung, mengusik perut-perut lapar. Tarub dan tenda telah terpasang, ramai dengan hiasan bunga dan pelaminan warna-warni. Di ujung kain tenda digantung koin-koin rupiah lama yang dibolongi tengahnya, koin yang tersimpan rapi dari kotak milik keluarga. Wajar saja, bukankan ini pernikahan pertama dari cucu orang tersohor di kota itu? Hanya sekotak koin, ahh..tidak ada apa-apanya bagi sang kakek. Toh koin itu sudah tidak laku, mungkin karna terlalu lama ditimbun sampai lupa membelanjakannya.   

Jam dinding hijau tua yang berdebu itu menunjukkan pukul sembilan pagi. Hari ini, sesuai rencana rombongan pengantin pria akan iring-iringan menuju rumah sang wanita. Anak perawan Pak Haji Abdullah, sekaligus cucu kesayangan pedagang tersohor di kota itu, Haji Majid. Pemilik petak tanah yang tak terkira jumlahnya, pemilik pabrik karet yang hasilnya mampu untuk menghasilkan harta yang konon katanya tak akan habis tujuh turunan, serta pemilik pabrik tekstil yang terkenal hingga pelosok kota.

28 Oktober 1969, lelaki beruntung itu datang bersama rombongan keluarga dari kampung. Ramai sekali, hingga sesak rumah Pak Haji. Tanjidor berbunyi lagi, bersahut sahutan dengan rebbana pengarak pengantin pria. Riuh.
Hari ini, selesai sudah tugasnya berbakti pada orang tua. Ayahanda, Puang yang amat dicintainya. Hari ini, ia berjanji akan patuh tunduk pada perintah Puang. Menikah dengan lelaki pilihan Puangnya. Ini adalah hari, dimana mimpi-mimpinya menjadi abstrak, seperti hatinya. Tercapai sudah mimpinya sebagai anak yang berbakti, namun mimpi ini pula yang mematahkan mimpinya untuk hidup menua bersama lelaki yang dicintainya. Basahlah pelupuk mata si anak dara. Bercampur perasannya, terharu, dan senang juga barangkali. Terisak suaranya, luntur sudah bedak tebalnya. Hilang segala harapannya, tapi apa mau dikata menangis pun tak ada guna. Tugasnya hari ini hanya satu, tersenyum di hadapan semua orang. Seolah-olah....ahhh sudahlah, tak perlu dibahas. pikirnya.Tunai sudah janji seorang anak.

Dia Tarti, gadis enam belas tahun, perawan desa yang cantik jelita. Siapa yang tak kenal kecantikannya, budi bahasa dan tata krama yang luar biasa. Gadis yang tak tamat sekolah dasar namun kecerdasannya tak bisa diragukan. Semua lelaki di kota itu sudah pasti menginginkannya. Betapa tidak, semua kriteria wanita impian ada padanya, kaya pula! Ahh...tapi sudahlah. Toh pada akhirnya si gadis ini pasti menikah dengan keluarga sendiri. Biar harta tak lari kemana, begitu kata puangnya.